Rabu, April 15, 2015
Senin, November 19, 2012
MAKALAH MAQAMAT DAN HAL
MAKALAH
MAQAMAT
DAN HAL
Diajukan
dalam rangka memenuhi Tugas Salah satu Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen
: Gina Giftia AD, M.Ag
Disusun
oleh
Kelompok
6
Fariq
Usman 1209706011
Prambama M 1209706027
Siti
Hasanah 1209706032
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI SMT-V
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirmanirrahim
Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan
keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat,
kerabat hingga akhirul zaman.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Maqamat dan Hal”.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Maqamat dan Hal”.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun karya
tulis ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan, motivasi
yang sangat besar nilainya serta atas pinjaman bukunya. dengan kerendahan hati
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak sehingga
selesainya pembuatan karya tulis ini.
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis
menyadari bahwa banyak karya tulis ini masih jauh dari sempurna meskipun
disertai dengan usaha dan upaya semaksimal mungkin oleh karena itu penulis
mengaharapkan saran yang konstruktif dan diterima dengan hati yang lapang.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah segala usaha
kita dan semoga karya tulis yang sederhana ini ada manfaatnya bagi kita
semua…Amin.
Bandung, Oktober 2011
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak
sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang
mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan
(religious experience) yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu
bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam oleh para
ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul
“perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam
sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk
mendamaikannya.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum
sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah
kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal.
Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan
kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya
telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi
yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan
spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme dan
syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh
tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa
kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan
spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan
jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya,
yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya
mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah
dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain
itu,yang lebih penting lagi kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu
untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh
mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maqamat
Secara harfiah maqamat
berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.
Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa
Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah
tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju
Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam
kitabnya al-Taarruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution
misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, (al-shabr, al-faqr, al-tawadlu,
al'taqwa, al-tawakkal, al'ridla, al-mahabbah dan al-ma'rifah.
Menurut Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh,
yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud,
al-faqr, al-tawakal dan al-ridla.
Sedangkan menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’Ulum al-Din mengatakan bahwa
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.
Terdapat beberapa
variasi keadaan dari penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat
yang oleh meraka disepakati yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridla.
a. Al-Zuhud
Secara harfiah al-zuhud
berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut
Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat
dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang
yang zuhud di dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang
mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta
yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan
kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah
zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
Zuhud termasuk salah
satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari
pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar
kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan
dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat
yang berbunyi:
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?”(QS.al-An’am
: 32)
“Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”(QS.al-A’la: 17)
Orang yang memiliki pandangan yang
demikian tidak akan mengorbankan kebahagian hidupnya di akhirat hanya karena
mengejar duniawi sementara. Sehingga akan terpelihara dari hal-hal yang
negative dan senantiasa selalu akan berbuat baik. Hadis Nabi yang menyatakan
bahwa “ Jika kamu melihat seseorang yang telah dianugerahi sifat zuhud dalam
dirinyadan selalu lurus sikapnya, maka dekatlah orang itu, karena orang itu
yang telah meyakini hikmah”
b.
Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari
bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang
dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan
disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa
tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution,
mengatakan taubat dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak
akan membawa kepada dosa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan
dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada
kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru
ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam
paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. yang taubat adalah
orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian senantiasa mengadakan
kontemplasi tentang Allah.
Bagi orang awam taubat
cukup dengan membaca astaghfirullah wa
tatubu illahi (Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali
sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah
(latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang
membatasi diri dengan Tuhan.
“Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran: 135)
c.
Al-Wara’
Secara
harfiah al-wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini
selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam
pengertian sufi al-wara adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat
keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang
syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi:
“Barangsiapa yang dirinya terbebas dari
syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.”
(HR. Bukhari).
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi
menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang
haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya.
Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham
dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap
makanan yang haram yang dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada
hati yang lama-kelamaan hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi
yang senantiasa mengharapkan Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang
bersih.
d.
Kefakiran
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada
diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
e.
Sabar
Secara harfiah sabar
berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri
dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika
mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada
dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar
artinya tetapa tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan
pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilankan rasa mendapatkan cobaan
tanpa meninjukkan rasa kesal. Ibn Usman al-Hairi mengatakan sabar adalah orang
yang mampu memasung dirinya atasa segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi
sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam mejauhi
segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang
ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan
Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan.
“Maka
bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa)
seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah)
suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”
(QS. Al-Ahqaf: 35)
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan
tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu dayakan”
(QS.
Al-Nahl: 127)
Menurut Ali bin Abi
Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang
kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
f.
Tawakkal
Secara harfiah tawakkal
berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal
adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang
yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak
dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh
pada Allah.
Al-Qusyairi lebih
lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak
dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Menurut
Harun Nasution, tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan
Allah.
Percaya kepada janji
Allah. Menyerahkan kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
Bertawakkal termasuk
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan:
Katakanlah: "Sekali-kali tidak
akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah
Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal." (QS.At-Taubah:51)
“Hai orang-orang yang beriman,
ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu
kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat),
maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal” (QS. Al-Maidah:11)
g. Kerelaaan
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun
Nasution mengatakan ridla berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan
qadar Tuhan. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaaan
benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan
gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana menerima nikmat. Tidak
meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha
sebelum turunnya qada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya
qada dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala’
(cobaan yang berat).
Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang
menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan, kedudukan dan
lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya. Orang-orang yang dapat bertahan
hanyalah orang yang sudah memiliki sifat ridla. Yang rela berjuang atas jalan
Allah, menjalani segala kesukaran. Semua itu bagi sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak
yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat semata-mata hanya
mengharapkan keridhaan Allah.
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan :
Sesungguhnya
Aku inj Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas
cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap
keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain
Aku.
Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan
akhlak mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu
membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang
mulia. Hal yang demikian identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri
dari sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik,
dan hal ini disebut dengan istilah tahalli, sebagaimana dikemukakan dalam
tasawuf akhlaki.
2.2 PENGERTIAN HAL
Menurut Harun Nasution,
hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan
takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas),
rasa berteman (al-uns), gembira hati
(al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan
maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah
dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara,
datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya
mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan
berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan di atas, seorang sufi juga
harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental
tersebut seperti riyadah, mujahadah,
khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan
mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta
melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya
mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah.
Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti
mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan
diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan
zikir dan zikir.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas tampak jelas bahwa jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
mencapai tujuan memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniah dengan
Tuhan bukanlah jalan yang mudah. Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah
licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari
satu stasion ke stasion lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan
singkat.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
v Muraqabah
Secara etimologi
muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi
muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi
oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi
bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga
berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
v Khauf
Menurut al-Qusyairi,
takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa
takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn
Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas.
Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan
orang lari menuju Allah.
v Raja’
Raja’ bermakna harapan.
Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih
datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati
kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu,
Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi
hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka
dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi
diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia
dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya
timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan
menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
v Syauq
Syauq bermakna lepasnya
jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan
bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu
karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka
seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah
mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa
senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk
selalu bertemu dan bersama Allah.
v Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah
pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang
menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu
kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada
segala sesuatu yang datang dari-Nya
tanpa usaha. Adapun dasar paham mahabbah antara lain dalam firman Allah:
“Hai orang-orang
yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
“Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tokoh utama
paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta
kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam
kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
v Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak
ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan
pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.
Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam
ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal
ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
v Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti
melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat
dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam
keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat
dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak
pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,
musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian
bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang
sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak
ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah
segala rahasia yang ada pada Allah.
v Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta
mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah
dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan
al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak
berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan
sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin
merupakan esensi seluruh ahwal .
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat diambil dari
pembahasan maqam dan hal, diantaranya yaitu :
a.
Maqam
adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk sampai
pada titik akhir tujuan.
b.
Pada
dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli sufi
berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan
bahwa tingkatan tersebut terdiri dari taubat, wara’, zuhud, faqr, shabr,
tawakkal dan ridha. Adapula yang membuat sistematika maqamat dengan taubat –
sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
c.
Maqam
sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik
sendiri.
d.
Ahwal
adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan
spiritualnya. Hal sifatnya lebih statis, karena ia merupakan
anugerah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri sang salik tanpa ada
usaha terlebih dahulu.
e.
Sebagaimana
maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah muraqabah,
khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,1997)
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Fatawa/HakekatTasawuf.html/20/09/11
http://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/maqamat-dan-ahwal/20/09/11
Langganan:
Postingan (Atom)