Senin, November 19, 2012

MAKALAH MAQAMAT DAN HAL




MAKALAH
MAQAMAT DAN HAL
Diajukan dalam rangka memenuhi Tugas Salah satu Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen : Gina Giftia AD, M.Ag



Disusun oleh
Kelompok 6
Fariq Usman  1209706011
 Prambama M 1209706027
Siti Hasanah  1209706032

JURUSAN AGROTEKNOLOGI SMT-V
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
  


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirmanirrahim
Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, kerabat hingga akhirul zaman.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Maqamat dan Hal”.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun karya tulis ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan, motivasi yang sangat besar nilainya serta atas pinjaman bukunya. dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak sehingga selesainya pembuatan karya tulis ini.
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyadari bahwa banyak karya tulis ini masih jauh dari sempurna meskipun disertai dengan usaha dan upaya semaksimal mungkin oleh karena itu penulis mengaharapkan saran yang konstruktif dan diterima dengan hati yang lapang.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah segala usaha kita dan semoga karya tulis yang sederhana ini ada manfaatnya bagi kita semua…Amin.


                                                                                                Bandung,
Oktober  2011



                                                                                                            Penulis





BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang dalam sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk mendamaikannya.
Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan metodologi “jalan batin” atau jalan spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar mendamaikan antara sufirme dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam tasawuf juga dipicu oleh tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama berpendapat bahwa kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul kekacauan spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah dituduh menyelewengkan ajaran agama di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain itu,yang lebih penting lagi kaum sufi sendiri tampaknya memang merasa perlu untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik untuk membakukan dan sejauh mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman mereka.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Taarruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, (al-shabr, al-faqr, al-tawadlu, al'taqwa, al-tawakkal, al'ridla, al-mahabbah dan al-ma'rifah.
Menurut Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakal dan al-ridla. Sedangkan menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.
Terdapat beberapa variasi keadaan dari penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh meraka disepakati yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr,  al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla.

a.      Al-Zuhud
Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa di antara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi:

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”(QS.al-An’am : 32)
                                                                                   
“Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”(QS.al-A’la: 17)
Orang yang memiliki pandangan yang demikian tidak akan mengorbankan kebahagian hidupnya di akhirat hanya karena mengejar duniawi sementara. Sehingga akan terpelihara dari hal-hal yang negative dan senantiasa selalu akan berbuat baik. Hadis Nabi yang menyatakan bahwa “ Jika kamu melihat seseorang yang telah dianugerahi sifat zuhud dalam dirinyadan selalu lurus sikapnya, maka dekatlah orang itu, karena orang itu yang telah meyakini hikmah”
b.      Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution, mengatakan taubat dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa tatubu illahi (Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran: 135)
c.       Al-Wara’
Secara harfiah al-wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi:
 “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesung­guhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
d.      Kefakiran
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
e.      Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetapa tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilankan rasa mendapatkan cobaan tanpa meninjukkan rasa kesal. Ibn Usman al-Hairi mengatakan sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atasa segala sesuatu yang kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam mejauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”
(QS. Al-Ahqaf: 35)
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”
(QS. Al-Nahl: 127)
Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

f.        Tawakkal 
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Menurut Harun Nasution, tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Percaya kepada janji Allah. Menyerahkan kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Dalam firman-Nya, Allah menyatakan:
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS.At-Taubah:51)
                   
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal” (QS. Al-Maidah:11)

g.      Kerelaaan
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan ridla berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bala’ (cobaan yang berat).
Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan, kedudukan dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya. Orang-orang yang dapat bertahan hanyalah orang yang sudah memiliki sifat ridla. Yang rela berjuang atas jalan Allah, menjalani segala kesukaran. Semua itu bagi sufi dipandang  sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah.
Dalam hadis Qudsi, Nabi menegaskan :
Sesungguhnya Aku inj Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku.
Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan akhlak mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Hal yang demikian identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut dengan istilah tahalli, sebagaimana dikemukakan dalam tasawuf akhlaki.

2.2 PENGERTIAN HAL
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai­mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir.
Berdasarkan uraian tersebut di atas tampak jelas bahwa jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohaniah dengan Tuhan bukanlah jalan yang mudah. Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari satu stasion ke stasion lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
v  Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.
v  Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.
v  Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
v  Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan  terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama Allah.
v  Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dari-Nya tanpa usaha. Adapun dasar paham  mahabbah antara lain dalam firman Allah:
 “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
 “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-syairnya.
v  Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
v  Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki,  musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
v  Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan maqam dan hal, diantaranya yaitu :
a.       Maqam adalah tingkatan yang harus ditempuh oleh para pejalan spiritual untuk sampai pada titik akhir tujuan.
b.      Pada dasarnya konsep mengenai tingkatan atau macam-macam maqam menurut ahli sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan bahwa tingkatan tersebut terdiri dari  taubat, wara’, zuhud, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. Adapula yang membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha dan sebagainya.
c.       Maqam sifatnya lebih dinamis dan aktif karena merupakan usaha dari para salik sendiri.
d.      Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para salik di tengah-tengah perjalanan spiritualnya. Hal sifatnya  lebih statis, karena ia merupakan anugerah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri sang salik tanpa ada usaha terlebih dahulu.
e.       Sebagaimana maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam. Diantaranya adalah muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah, uns, musyahadah, yaqin.



DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,1997)
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Fatawa/HakekatTasawuf.html/20/09/11
http://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/maqamat-dan-ahwal/20/09/11


Tidak ada komentar: