BAB I
PENDAHULUAN
Bagian kromosom yang
berperan dalam peristiwa pewarisan sifat keturunan adalah gen. Telah dipelajari bersama
bahwa satu kromosom dapat mengandung ratusan bahkan ribuan gen. Sehingga kondisi di
mana dalam satu kromosom yang sama terdapat dua atau lebih gen inilah yang
disebut tautan atau berangkai (linkage). Gen-gen yang berada
pada kondisi tautan ini disebut gen-gen berangkai.
Berdasarkan tempat
terdapatnya, kromosom dibedakan menjadi kromosom autosom (terdapat pada sel-sel
tubuh diploid atau sel-sel somatis) dan kromosom seks atau gonosom (terdapat pada sel-sel kelamin). Oleh karena itu, tautan
gen yang terjadi pada kromosom autosom disebut tautan autosomal .
Sementara itu, gen yang terdapat pada kromosom seks disebut tautan
seks.
Penemuan adanya tautan
gen diawali oleh penelitian Morgan pada lalat buah (Drossophila sp.). Lalat buah dipilih
sebagai objek penelitiannya karena mudah dan cepat berkembang biak, jumlah kromosomnya
hanya 4 pasang (8 kromosom) sehingga kromosomnya mudah diamati dan dihitung, serta
mudah dibedakan antara lalat jantan dan betina (lalat betina mempunyai ukuran tubuh
lebih besar). Morgan melakukan
persilangan dihibrida pada lalat buah, yaitu antara lalat buah betina
(tubuh abu -abu dan sayap normal) dengan lalat buah jantan (tubuh hitam dan sayap keriput).
Simbol vg+ menunjukkan
alel penentu warna tubuh abu-abu, vg sebagai penentu tubuh hitam, b+ penentu
sayap normal, dan b penentu sayap keriput. Warna tubuh hitam dan sayap keriput
menunjukkan fenotip yang berlawanan (tidak normal) dengan fenotip yang dimiliki oleh induk betina. Fenotip
tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan gen di dalam kromosom (mutasi). Oleh karena itu, fenotip ini disebut fenotip mutan. Perkawinan kedua lalat
buah dengan kedua
induk yang memiliki fenotip saling berlawanan tersebut merupakan peristiwa test
cross antara sifat dihibrida dengan resesif homozigotnya. Dengan demikian,
perbandingan fenotip yang akan dihasilkan adalah 1:1 :1:1. Namun,
hasil tersebut tidak terjadi pada persilangan Morgan karena menunjukkan perbandingan jumlah
fenotip yang jauh
berbeda (tidak proporsional). Dari hasil tersebut, Morgan mendapatkan
kesimpulan bahwa pewarisan warna tubuh dan bentuk sayap umumnya terjadi
bersama-sama dalam kombinasi yang spesifik. Hal ini disebabkan gen-gen penentu kedua
sifat atau fenotip tersebut terdapat pada satu kromosom yang sama sebagai peristiwa tautan gen.
Fertilisasi antara gamet
jantan dan betina akan terjadi secara acak. Pada persilangan lalat buah
tersebut, terbentuk individu keturunan dengan fenotip yang berbeda dengan fenotip dari
kedua induknya.
Fenotip pada individu seperti ini disebut fenotip rekombinan (abu-abu,
keriput dan hitam, normal), sedangkan fenotip individu
keturunan yang sama dengan yang dimiliki induk disebut fenotip induk (abu-abu, normal dan
hitam, keriput). Individu-individu yang
dihasilkan tersebut mengalami variasi genetik yang disebabkan adanya pindah silang.
Peristiwa pembentukan keturunan mela lui kombinasi-kombinasi baru dari fenotip induknya ini
disebut rekombinasi genetik.
Beberapa gen
pada kromosom tidak memisah bebas yang disebut gen bertaut. Secara fisik gen tersebut bertaut
pada kromosom, namun kombinasi baru dapat terjadi dengan adanya pindah silang (crossing
over). Bila tautan
sempurna, maka gen-gen
tersebut selalu diwariskan bersama-sama, berasal dari tetua yang sama. Biasanya
tautan gen tidak sempurna apabila sebagian dapat bergabung secara bebas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gen Berangkai atau Pautan Seks
Peristiwa
berangkai dapat terjadi pada kromosom tubuh (autosom) maupun pada kromosom
kelamin (gonosom). Gen-gen jumlahnya hingga ribuan pada tiap kromosom.
Peristiwa terdapatnya dua atau lebih banyak gen pada sebuah kromosom yang sama
disebut “berangkai/Linkage.” Gen-gennya dinamakan gen-gen terangkai.
Posisi gen terangkai
pada kromosom :
Gen
A berangkai dengan gen B, C, D, dst pada kromosom yang sama. Begitu pula alel
mereka yaitu gen a berangkai dengan gen b, c, d, dst pada kromosom homolognya.
•
Ratio Harapan Gen-Gen Tidak Terpaut
Misal : jika sapi hitam tidak bertanduk heterozigot (BpPp)
disilangkan dengan sapi merah bertanduk (bbpp), maka ratio harapan hasil
persilangan ini adalah 1/4 BbPp (hitam tidak bertanduk) : 1/4 Bbpp (hitam
bertanduk) : 1/4 bbPp (merah tidak bertanduk) : 1/4 bbpp (merah bertanduk).
Untuk mengetahui genotip suatu individu dilakukan jalan menyilangkannya dengan
individu yang homozigot resesif yang disebut testcross. Ratio fenotipe harapan
dari testcross yang gen-gennya tidak terpaut adalah 1 : 1 : 1 : 1.
•
Ratio Harapan Gen-Gen Terpaut
Misal : Gen C pada tikus mengontrol munculnya warna (umumnya
hitam), sedangkan alel resesif (c) dalam keadaan homozigot resesif akan
menghasilkan warna albino. Alel dominan F menghasilkan bulu normal, sedangkan
alel resesif (f) menghasilkan bulu kusam. Jika tikus hitam berbulu normal
heterozigot (CcFf) disilangkan dengan tikus albino berbulu kusam, maka hanya
akan dihasilkan 2 macam fenotip yaitu 1/2 CCFF (hitam berbulu normal) dan 1/2
ccff (albino berbulu kusam). Gamet yang dihasilkan oleh F1 yang bergenotip CcFf
seharusnya adalah CF, Cf, cF dan cf. Namun, karena gen C dan F terpaut maka
hanya ada 2 macam gamet yang terbentuk yaitu CF dan cf. Akibatnya hasil
testcross dihibrida hanya menghasilkan 2 macam fenotipe.
Kondisi gen yang
berangkai :
Kondisi
ini menunjukkan bahwa gen C-c dan F-f bukan terletak pada kromosom yang berbeda
tapi pada kromosom yang sama, artinya mereka berangkai/berpautan.
B. Penentuan Jenis Kelamin
Gen-gen yang terletak pada kromosom
kelamin dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena
yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin
(linkage). Adapun gen berangkai adalah gen-gen yang terletak pada kromosom
selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina
sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin.
Kromosom semacam ini dinamakan autosom.
Seperti halnya gen berangkai
(autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan
secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-individu
yang dihasilkan melalui kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe
dan genotipe yang menyimpang dari hukum Mendel. Selain itu, jika pada percobaan
Mendel perkawinan resiprok (genotipe tetua jantan dan betina dipertukarkan)
menghasilkan keturunan yang sama, tidak demikian halnya untuk sifat-sifat yang
diatur oleh gen rangkai kelamin.
Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan
berdasarkan atas macam kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom
kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai
kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked
genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X
tetapi memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai
kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes). Pada bab ini akan
dijelaskan cara pewarisan macam-macam gen rangkai kelamin tersebut serta
beberapa sistem penentuan jenis kelamin pada berbagai spesies organisme.
Penentuan jenis kelamin pada manusia
Pewarisan Rangkai X
Percobaan yang pertama kali
mengungkapkan adanya peristiwa rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada
tahun 1910. Dia menyilangkan lalat Drossphila melanogaster jantan
bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap
sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen pengatur tipe
alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan dengan tanda
+. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan terhadap
alel mutannya.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda.
Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata berbeda jika tetua jantan yang digunakan adalah tipe alami (bermata merah) dan tetua betinanya bermata putih. Dengan perkataan lain, perkawinan resiprok menghasilkan keturunan yang berbeda.
Persilangan resiprok dengan hasil
yang berbeda ini memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada Drossophila
ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui
bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drossophila terletak pada kromosom
kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini
dikatakan sebagai gen rangkai X.
Pada Drosophila dan juga beberapa
spesies organisme lainnya, individu betina membawa dua buah kromosom X, yang
dengan sendirinya homolog, sehingga gamet-gamet yang dihasilkannya akan
mempunyai susunan gen yang sama. Oleh karena itu, individu betina ini dikatakan
bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa sebuah
kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu gamet yang
membawa kromosom X dan gamet yang membawa kromosom Y. Individu jantan ini
dikatakan bersifat heterogametik.
Rangkai X pada kucing
Warna bulu pada kucing ditentukan
oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan heterozigot gen ini menyebabkan warna
bulu yang dikenal dengan istilah tortoise shell. Oleh karena genotipe
heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai pada individu betina, maka
kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis kelamin betina.
Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot dominan
(jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif (betina) dan
hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.
Istilah hemizigot digunakan untuk
menyebutkan genotipe individu dengan sebuah kromosom X. Individu dengan gen
dominan yang terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot dominan.
Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang memilikinya disebut
hemizigot resesif.
Rangkai X pada manusia
Salah satu contoh gen rangkai X pada
manusia adalah gen resesif yang menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan
dalam proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak
lama di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki meninggal akibat
perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu kematian akibat perdarahan
ini hanya dianggap sebagai takdir semata.
Hemofilia baru menjadi terkenal dan
dipelajari pola pewarisannya setelah beberapa anggota keluarga Kerajaan Inggris
mengalaminya. Awalnya, salah seorang di antara putra Ratu Victoria menderita
hemofilia sementara dua di antara putrinya karier atau heterozigot. Dari kedua
putri yang heterozigot ini lahir tiga cucu laki-laki yang menderita hemofilia
dan empat cucu wanita yang heterozigot. Melalui dua dari keempat cucu yang
heterozigot inilah penyakit hemofilia tersebar di kalangan keluarga Kerajaan
Rusia dan Spanyol. Sementara itu, anggota keluarga Kerajaan Inggris saat ini
yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari penyakit
hemofilia.
Rangkai Z pada ayam
Pada dasarnya pola pewarisan sifat
rangkai Z sama dengan pewarisan sifat rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai
X individu homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara individu
heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru terjadi
sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang individu heterogametik
(ZW) adalah betina.
Contoh gen rangkai Z yang lazim
dikemukakan adalah gen resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu
secara normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi burik.
Jadi, pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau
normal (dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan.
Pewarisan Rangkai Y
Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit
sekali mengandung gen yang aktif. Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin
disebabkan oleh sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y yang dapat
menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi
keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal. Oleh karena
fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y jumlahnya sangat sedikit,
maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat stabil.
Gen rangkai Y jelas tidak mungkin
diekspresikan pada individu betina/wanita sehingga gen ini disebut juga gen
holandrik. Contoh gen holandrik pada manusia adalah Hg dengan alelnya hg yang
menyebabkan bulu kasar dan panjang, Ht dengan alelnya ht yang menyebabkan
pertumbuhan bulu panjang di sekitar telinga, dan Wt dengan alelnya wt yang
menyebabkan abnormalitas kulit pada jari.
Pewarisan Rangkai Kelamin Tak
Sempurna
Meskipun dari uraian di atas secara
tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y,
ternyata ada bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang
homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X
yang mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen
semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan
berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu, gen-gen
pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin
tak sempurna.
Pada Drossophila melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek.
Pada Drossophila melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek.
Sistem Penentuan Jenis Kelamin
Telah disebutkan di atas bahwa pada
manusia dan mamalia, dalam hal ini kucing, individu pria/jantan adalah
heterogametik (XY) sementara wanita/betina adalah homogametik (XX). Sebaliknya,
pada ayam individu jantan justru homogametik (ZZ) sementara individu betinanya
heterogametik (ZW). Penentuan jenis kelamin pada manusia/mamalia dikatakan
mengikuti sistem XY, sedang pada ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu,
mengikuti sistem ZW.
Selain kedua sistem tersebut, masih
banyak sistem penentuan jenis kelamin lainnya. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa di antaranya.
a. Sistem XO
Sistem XO dijumpai pada beberapa
jenis serangga, misalnya belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki
dua buah kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom
X. Jadi, hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu
jantan tidak mempunyai kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis
individu betina lebih banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai
contoh, E.B. Wilson menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina
mempunyai 14 kromosom, sedang pada individu jantannya hanya ada 13 kromosom.
b. Sistem nisbah X/A
C.B. Bridge melakukan serangkaian
penelitian mengenai jenis kelamin pada lalat Drosophila. Dia berhasil
menyimpulkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada organisme tersebut
berkaitan dengan nisbah banyaknya kromosom X terhadap banyaknya autosom, dan
tidak ada hubungannya dengan kromosom Y. Dalam hal ini kromosom Y hanya berperan
mengatur fertilitas jantan.
Kariotipe, Perimbangan Kromosom X
Dengan Autosom, Dan Jenis Kelamin Pada Lalat Drosophila
Kariotipe
|
Perimbangan
|
Jenis
Kelamin
|
AAXXX
|
3/2
= 1,50
|
Betina
super
|
AAAXXXX
|
4/3
= 1,33
|
Betina
super
|
AAAAXXXX
|
4/4
= 1,00
|
Betina
tetraploid
|
AAAXXX
|
3/3
= 1,00
|
Betina
triploid
|
AAXX
|
2/2
= 1,00
|
Betina
|
AAAAXXX
|
3/4
= 0,75
|
Interseks
|
AAAXX
|
2/3
= 0,67
|
Interseks
|
AAXY
|
1/2
= 0,50
|
Jantan
|
AAAAXXY
|
2/4
= 0,50
|
Jantan
|
AAAXY
|
1/3
= 0,33
|
Jantan super
|
AAX
|
1/2
= 0,50
|
Jantan
steril
|
Jika kita perhatikan kolom pertama, akan
terlihat bahwa ada beberapa individu yang jumlah kromosom X-nya lebih dari dua
buah, yakni individu dengan jenis kelamin metabetina, betina triploid dan
tetraploid, serta interseks. Adanya kromosom X yang didapatkan melebihi jumlah
kromosom X pada individu normal (diploid) ini disebabkan oleh terjadinya
peristiwa yang dinamakan gagal pisah (non disjunction), yaitu gagal berpisahnya
kedua kromosom X pada waktu pembelahan meiosis.
Pada Drosophila terjadinya gagal
pisah dapat menyebabkan terbentuknya beberapa individu abnormal.
P : AAXX
x AAXY
(gagal pisah)
gamet : AXX AO
AX AY
F1 : AAXXX (betina
super)
AAXXY (betina)
AAXO (jantan)
AAOY (steril letal)
Di samping kelainan-kelainan tersebut
pernah pula dilaporkan adanya lalat Drossophila yang sebagian tubuhnya
memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin jantan sementara sebagian
lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut
dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah ketidakteraturan distribusi
kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis zigot. Dalam hal ini ada sel
yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang hanya menerima satu kromosom
X.
c. Partenogenesis
Pada beberapa spesies Hymenoptera
seperti semut, lebah, dan tawon, individu jantan berkembang dengan cara
partenogenesis, yaitu melalui telur yang tidak dibuahi. Oleh karena itu,
individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya
haploid.
Sementara itu, individu betina dan
golongan pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi
sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung
kepada jumlah genom (perangkat kromosom).
d. Sistem gen Sk-Ts
Di atas disebutkan bahwa sistem
penentuan jenis kelamin pada lebah tidak berhubungan dengan kromosom kelamin.
Meskipun demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah perangkat
kromosom.
Pada jagung dikenal sistem penentuan
jenis kelamin yang tidak bergantung, baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah
genom, tetapi didasarkan atas keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius
(berumah satu) mempunyai gen Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan
gen Ts, yang mengatur pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai
fenotipe Sk_Ts_.
Sementara itu, alel-alel resesif sk
dan ts masing-masing menghalangi pembentukan bunga betina dan mensterilkan
bunga jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina
diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius. Jagung
sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat mengatasi pengaruh sk, atau
dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk seakan-akan tidak ada alel
sk.
e. Pengaruh lingkungan
Sistem penentuan jenis kelamin bahkan
ada pula yang bersifat nongenetik. Hal ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia,
yang jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan.. F.
Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah telur yang
diisolasi akan berkembang menjadi individu betina. Sebaliknya, cacing yang
hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati dan memasuki saluran
reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian berkembang menjadi
individu jantan yang parasitik.
f.
Kromatin Kelamin
Seorang ahli genetika dari Kanada,
M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan adanya struktur tertentu yang dapat
memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina.
Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada
manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel selaput
lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita atas dasar ada tidaknya
struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan nama kromatin kelamin atau badan
Barr.
Pada sel somatis wanita terdapat
sebuah kromatin kelamin sementara sel somatis pria tidak memilikinya.
Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan
banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah
kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua. Demikian pula, pria normal
tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom X-nya hanya satu.
Dewasa ini keberadaan kromatin
kelamin sering kali digunakan untuk menentukan jenis kelamin serta mendiagnosis
berbagai kelainan kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan amnion
embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita
sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya
tidak dimiliki oleh seorang pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom
Turner (XO) tidak mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita
normal.
Mary F. Lyon, seorang ahli genetika
dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X
yang mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara genetik
menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya atas ekspresi gen
rangkai X yang mengatur warna bulu pada mencit. Individu betina heterozigot
memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas berbeda dengan ekspresi gen
semidominan (warna antara yang seragam). Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada
satu kromosom X yang aktif di antara kedua kromosom X pada individu betina.
Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin membawa gen dominan sementara pada
sel yang lain mungkin justru membawa gen resesif.
Hipotesis Lyon juga menjelaskan
adanya mekanisme kompensasi dosis pada mamalia. Mekanisme kompensasi dosis
diusulkan karena adanya fenomena bahwa suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis
efektif yang sama pada kedua jenis kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai
X pada individu homozigot akan diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada
individu hemizigot.
g. Hormon dan Diferensiasi
Kelamin
Dari penjelasan mengenai berbagai
sistem penentuan jenis kelamin organisme diketahui bahwa faktor genetis
memegang peranan utama dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya, sistem
hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam tubuh individu sehingga
mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder.
Pada hewan tingkat tinggi dan manusia
hormon kelamin disintesis oleh ovarium, testes, dan kelenjar adrenalin. Ovarium
dan testes masing-masing mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penghasil sel
kelamin (gamet) dan sebagai penghasil hormon kelamin. Sementara itu, kelenjar
adrenalin menghasilkan steroid yang secara kimia berhubungan erat dengan gonad.
h. Gen terpengaruh kelamin
Gen terpengaruh kelamin (sex
influenced genes) ialah gen yang memperlihatkan perbedaan ekspresi antara
individu jantan dan betina akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen
autosomal H yang mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan
pada individu jantan tetapi resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya
h, bersifat dominan pada domba betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh
karena itu, untuk dapat bertanduk domba betina harus mempunyai dua gen H
(homozigot) sementara domba jantan cukup dengan satu gen H (heterozigot).
Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba
Genotipe
|
Domba
jantan
|
Domba
betina
|
HH
|
bertanduk
|
bertanduk
|
Hh
|
bertanduk
|
tidak
bertanduk
|
hh
|
tidak
bertanduk
|
tidak
bertanduk
|
Contoh lain gen terpengaruh kelamin
adalah gen autosomal B yang mengatur kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada
pria tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi
resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang
wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita
harus mempunyai gen B dalam keadaan homozigot.
i.
Gen terbatasi kelamin
Selain mempengaruhi perbedaan
ekspresi gen di antara jenis kelamin, hormon kelamin juga dapat membatasi
ekspresi gen pada salah satu jenis kelamin. Gen yang hanya dapat diekspresikan
pada salah satu jenis kelamin dinamakan gen terbatasi kelamin (sex limited
genes). Contoh gen semacam ini adalah gen yang mengatur produksi susu pada sapi
perah, yang dengan sendirinya hanya dapat diekspresikan pada individu betina.
Namun, individu jantan dengan genotipe tertentu sebenarnya juga mempunyai
potensi untuk menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi sehingga
keberadaannya sangat diperlukan dalam upaya pemuliaan ternak tersebut.
C. Penyimpangan
Dari Hukum Mendel II
P = bunga ungu p
= bunga merah
L = tepungsari panjang l
= tepungsari bulat
F1 : PpLl
(ungu, panjang)
F2 :
pengamatan
|
harapan
|
(p-h)²/h
|
|
ungu, panjang
|
296
|
240
|
13.07
|
ungu, bulat
|
19
|
80
|
46.51
|
merah, panjang
|
27
|
80
|
35.11
|
merah, bulat
|
85
|
27
|
124.59
|
X² = 219.28
|
•
X² hit > X² tb
•
Data tidak sesuai dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1
•
315 ungu : 112 merah
à segregasi
•
323 panjang : 104 pendek à segregasi
Uji silang : menentukan nisbah gamet
yang dihasilkan individu Heterosigot
PpLl x ppll
Hasil
|
Harapan
|
|
Ungu, panjang
|
7
|
1
|
Ungu, bulat
|
1
|
1
|
Merah, panjang
|
1
|
1
|
Merah, bulat
|
7
|
1
|
D. Susunan
Gen-Gen Bertaut
1.
Tautan coupling (sis) : dua alele dominan atau dua
alele resesif pada satu kromosom
- Tautan repulsion (trans): satu alele dominan dan satu alele resesif pada satu kromosom
- Tautan sempurna à tidak terjadi pindah silang à hanya ada tipe tetua, tipe rekombinan tidak dibentuk
- Tautan tidak sempurna à terjadi pindah silang à tipe tetua lebih banyak dari tipe rekombinan yang dibentuk. Frek. tipe rekombinan = % pindah silang
- Tidak ada tautan à hukum Mendel II à frek. tipe tetua = frek. tipe rekombinan.
BAB II
KESIMPULAN
•
Beberapa gen pada kromosom tidak memisah bebas disebut gen bertaut.
•
Secara fisik gen tersebut bertaut pada kromosom, namun
kombinasi baru dapat terjadi dengan adanya pindah silang (crossing over).
•
Bila tautan sempurna, berarti gen-gen
tersebut selalu diwariskan bersama-sama, berasal dari tetua yang sama.
•
Biasanya tautan gen tidak sempurna, sebagian
dapat bergabung secara bebas.
•
Peristiwa terdapatnya dua atau lebih banyak gen pada sebuah kromosom
yang sama disebut Berangkai atau Linkage.
•
Peristiwa berangkai dapat terjadi pada kromosom tubuh (autosom)
maupun pada kromosom kelamin (gonosom).
•
Penentuan jenis kelamin dapat dibagi melalui pewarisan rangkai X,
pewarisan rangkai
Y, dan pewarisan rangkai kelamin tak sempurna.
•
Sistem penentuan jenis kelamin yaitu dengan sistem XO, sistem
nisbah X/A, partenogenesis, sistem gen Sk-Ts, pengaruh lingkungan,
kromatin kelamin, hormon dan diferensiasi kelamin, gen terpengaruh kelamin, dan gen
terbatasi kelamin.
DAFTAR PUSTAKA
Priadi, Arif. 2009. Biologi 3. Yudistira:
Jakarta.
Jusuf. Tt. Genetika I. Bogor: IPB.
Gardner, E.J. 1975. Principles of Genetics. Ch.
5. Pp. 141-160.
Kwan, L.P.
& E.Y.K. Lam. 2003. Biology. A Course for “O” Level. Singapore:
Federal publications.
Campbell, NA.,
J.B. Reece, M.R. Taylor, & E.J. Simon. 2006. Biologi. Concepts &
Connections. 5th edition. California: The Benjamin/ Cumming
Publishing.
abnet.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar